PENINDASAN (BULLYING)
PENGERTIAN MASALAH
Seorang penindas akan merasa puas bila ia mendapatkan apa yang dia inginkan dari sang target penindasan; anak yang tertindas ketakutan dan mengungkapkan hal yang dialaminya; para penonton menyingkir atau malah berpartisipasi dalam penindasan; dan orang dewasa tidak menganggap penindasan serius; sebagai suatu fase dari tumbuh dewasa, bukan penghalang menuju kedewasaan.
Sesungguhnya, penindasan sudah banyak memakan korban. Korban-korban yang tangisannya tak terdengar, yang kepedihannya terabaikan, yang terus-menerus disakiti, suatu saat akan menyerang dengan penuh dendam dan kemarahan yang akan menyebabkan komunitas kita terkejut dengan horror dan kesedihan yang tak dapat dijelaskan.
Lain lagi dengan korban-korban yang telah mencapai titik keputusasaan yang tak dapat diperbaiki, telah membalikkan kekerasan itu pada diri mereka sendiri. Karena mereka tidak mempunyai jalan keluar dari kepedihan dan penderitaan yang dialami maka mereka menciptakan pintu keluar akhir yang tragis:
§ Januari 1999; Manchester, Inggris: Marie Bentham, delapan tahun, menggantung dirinya sendiri dengan alat lompat talinya karena tidak tahan dengan penindasan-penindasan di sekolahnya. Mary dianggap sebagai korban bunuh diri termuda akibat penindasan di Inggris.
§ Januari 1995; Belfast, Irlandia: Maria McGovern tewas akibat overdosis setelah mengalami penindasan. Buku harian yang ditinggalkannya merekam kehidupannya yang penuh teror harian yang dilakukan oleh rekan-rekan sekolahnya.
§ Maret 2000; Surrey, British Columbia: Hamed Nastih, 14 tahun, terjun dari jembatan Patullo. Ia meninggalkan lima lembar surat yang isinya adalah penjelasan terperinci tentang penindasan dan celaan-celaan yang dilakukan oleh rekan-rekan sekolahnya yang mendorongnya untuk bunuh diri.
§ 10 November 2000; Mission, British Columbia: Dawn Marie Wesley, 14 tahun, menggantung diri dnegan tali leher anjing di kamar tidurnya. Ia meninggalkan surat bunuh diri yang menyebutkan tiga gadis disekolahnya adalah orang yang telah membunuhnya karena penindasan mereka. Gadis-gadis yang disebutkan dalam surat itu lalu dikeluarkan dari sekolah.
§ 8 April 2002; Halifax, Nova Scotia: Emmet Fralick, 14 tahun, siswa popular yang suka bepergian, menembak dirinya sendiri di kamar tidurnya. Ia meninggalkan surat bunuh diri yang menyebutkan bahwa ia tidak tahan dengan penindasan yang dilakukan oleh teman-teman sebayanya. Emmet mengalami pemerasan, ancaman, dan pemukulan oleh remaja-remaja lainnya.
Masih berlembar-lembar kejadian yang dapat ditulis, yang berisi insiden dari beragam negara di seluruh dunia. Kejadian-kejadian yang membuktikan, bahwa anak-anak ini telah ditindas tanpa ampun dan, dalam sebagian besar kasus, penindasan berlanjut tanpa ada protes yang nyata, kegusaran, campur tangan yang memadai, atau kemarahan.
Kejadian-kejadian tragis ini tidak perlu terjadi. Penindasan adalah perilaku yang dipelajari, maka perilaku tersebut dapat diselidiki dan dapat diubah. Penindas, tertindas, dan penonton akan dibahas lebih lanjut dalam bab selanjutnya.
Penindas, pihak yang tertindas, dan penontonnya adalah tiga karakter dalam suatu drama tragis yang dimainkan di rumah, sekolah, jalan-jalan, dan taman bermain. Contoh pada bab pertama telah membuktikan bahwa drama itu nyata, dan akibatnya tidak main-main. Beberapa anak berperan sebagai penindas dan tertindas sedangkan sisanya menjadi penonton. Tetapi ada beberapa anak yang tidak dapat menyingkirkan peran yang telah ia kuasai (tertindas) sehingga berakhir dengan tragis.
Anak-anak tidak sekedar memainkan naskah-naskah mereka, tetapi hidup dengan naskah-naskah tersebut. Mereka tidak bisa pulang ke rumah setelah pertunjukan usai dan mendapati kenyataan bahwa rumah adalah bagian dari panggung.
Orang dewasa tidak bisa pergi begitu saja, menutup pertunjukan, dan mengirimnya entah kemana. Mereka juga tidak bisa hanya menghalau anak-anak penindas dan menangisi anak-anak tertindas. Peran itulah yang harus dibuang, bukan anak-anak. Anak-anak membutuhkan drama baru, dengan orang dewasa sebagai partisipan aktif dalam penulisan ulang secara total.
Dari angket yang ditanggapi 100 siswa kelas satu dan dua SMP, 24% anak tertindas, 16% penindas, 22% penonton, 5% melakukan keduanya (penindasan dan tertindas), 30% pernah berperan sebagai ketiga-tiganya, dan sisanya tidak mengisi.
Selain itu, menurut penelitian Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), yang dilakukan pada tahun 2004 sampai 2006 itu menyatakan, dampak negatif bullying masih belum disadari sepenuhnya oleh para guru. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap guru-guru di 3 SMA di dua kota besar di Pulau Jawa menunjukkan, 1 dari 5 guru menganggap penggencetan dan olok-olok adalah hal yang biasa dalam kehidupan remaja dan tidak perlu diributkan.
TANDA-TANDA PENINDASAN
Penindasan adalah aktivitas sadar, disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan melalui ancaman agresi lebih lanjut, dan menciptakan teror. Penindasan sesungguhnya akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut:
1. Ketidakseimbangan kekuatan: Penindas dapat saja orang yang lebih tua, lebih kuat, lebih besar, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial, berasal dari ras yang berbeda, atau tidak berjenis kelamin sama (akan dibahas lebih lanjut). Sejumlah besar anak berkumpul bersama-sama untuk menindas yang menciptakan ketidakseimbangan. Penindasan bukan perkelahian atau persaingan antara dua pihak yang setara.
2. Niat untuk mencederai: Tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada keseleo lidah, atau godaan yang main-main, tidak ada kaki yang salah tempat, tidak ada ketaksengajaan dalam pengucilan, tidak ada “Aduh, maaf, aku tidak bermaksud begitu.” Semuanya dilandasi niat untuk menyakiti target.
3. Ancaman agresi lebih lanjut: Baik pihak penindas maupun pihak yang tertindas mengetahui bahwa penindasan dapat dan kemungkinan akan terjadi kembali. Penindasan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali saja.
Dan ketika eskalasi penindasan meningkat tanpa henti, muncul unsur yang keempat:
4. Teror: Teror yang menusuk tepat di jantung korban penindasan bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan penindasan, teror itulah yang menjadi tujuan penindasan. Sekali sebuah teror diciptakan, sang penindas dapat bertindak tanpa merasa takut akan adanya pembalasan dendam. Sedangkan anak yang tertindas menyerah tanpa daya hingga seolah ia tampaknya tak akan mengatakan tentang penindasan tersebut pada orang lain atau terjadinya serangan balasan.
Selain empat tanda-tanda diatas, perilaku-perilaku orang tua terhadap anak dibawah ini juga termasuk dalam penindasan di rumah:
§ Menghukum anak secara berlebihan
§ Memukul
§ Menyulut dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting
§ Terus menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak
§ Pelecehan seksual
§ Menyerang anak secara agresif
§ Mengabaikan anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan rasa aman yang memadai
Penindasan tidak hanya dilakukan oleh murid atau orangtua saja. Beberapa guru, juga melakukan penindasan pada murid-muridnya. Lalu penindasan seperti apa yang dilkukan oleh pahlawan-pahlawan tanpa tanda jasa ini?
Pertama, pemberian materi pelajaran yang tidak sesuai dengan umur dan tingkat kecerdasan anak didik. Contoh, kurikulum taman kanak-kanan adalam bermain dan mengenal huruf dan angka. Namun, praktik di lapangan banyak guru-guru sekolah TK yang melakukan dril kepada siswa-siswinya untuk bisa membaca dan menghitung penjumlahan, pengurangan, bahkan perkalian. Jika mereka di tanya tentang hal itu, mereka menjawab: “Ini adalah tuntutan untuk dapat masuk di sekolah-sekolah faforit”. Demikian juga banyak guru yang berkata: “Materi anak SD sekarang seperti materi SMP dulu, materi SMP sekarang seperti materi SMA dulu”. mereka seorang pendidik yang mengajarkan materi produk baru. Hati kecil merekamenatap pada anak didiknya dengan rasa iba dan penuh belas kasihan. Hati kecil mereka seakan-akan berkata: “Belum saatnya kalian mempelajari materi-materi seperti ini, karena terlalu berat bagi kalian”.
Misalnya, guru SD kelas I pada semester I menanyakan kepada muridnya: “Bagaimana sikap kamu terhadap bencana gempa bumi?”, “Sebutkanlah nama-nama buah berikut ini dalam bahasa Inggris, kemudian buatlah dari kata-kata tersebut sebuah kalimat”, atau “Deskripsikan ibadah puasa dan sebutkan tiga doanya”.
Kedua, pekerjaan rumah buat anak didik sebanyak tiga sampai lima halaman untuk sebuah mata pelajaran. Walau anak dibantu orang tua murid sampai pukul 12 malam, PR mereka tidak dapat diselesaikan. Orang tua ikut merasakan kesulitan yang dihadapi anaknya. Mereka hawatir anaknya tidak dapat menuntaskan tuntutan guru. Sehingga, bagi yang berduit mereka memanggil guru prifat masing-masing bidang studi. Kapan mereka dapat beristirahat? Kapan mereka bisa berekreasi? Ingat, bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Kalau semua waktu yang mereka miliki dipaksa untuk belajar dan belajar, bukan keberhasilan yang di dapat justru kemerosotan. Dari sini tampak betapa berat beban anak didik saat ini.
Ketiga, Guru hanya mengajarkan sejumlah halaman buku tanpa mempersoalkan apakah anak didik mereka paham atau tidak. Proses pengajaran yang dilakukan guru tidak membumi di hati anak didiknya. Asal materi selesai -tanpa memperhatikan satu-persatu pada kemampuan siswa- tugas dia sebagai guru selesai. Sehingga dalam suasana kelas yang tertinggal merasa minder untuk berkompetisi dengan teman yang lainnya. Jiwa anak akan tertekan dan pesimis. Bahkan jika ada anak didik yang tidak paham dan sulit memahami materi yang disampaikan guru, malah dia mengomeli dan menjewer, dan memrbei sanksi. Sehingga anak menjadi jera, tidak simpati, tidak tertarik, dan enggan mempelajari pelajarn yang diajarkan oleh guru tersebut.
Keempat, Guru memberikan sanksi yang dapat mematahkan motifasi anak didik untuk mengembangkan motorik kasar dan motorik halusnya. Seperti, mencubit atau memukul hingga anak kesakitan, menyuruh membersihkan kamar mandi, berlari 15 putaran lapangan sekolah, dan penindasan mental mereka.
Kelima, Guru bermuka masam dan bersikap dingin dihadapan anak didiknya. Guru adalah figur teladan yang menjadi orang tua mereka di sekolah. Jika mereka bersikap dingin dan masam tanpa kehangatan, keakraban, kedekatan dengan siswa, siswa merasa takut untuk bertanya dan berkomunikasi lebih dekat dengan guru.
Sebenarnya banyak sekali contoh-contoh penindasan dan penjajahan anak didik yang terjadi di kelas saat pembelajaran yang tidajk bisa saya sebutkan satu-persatu. Ini terjadi akibat dari sikap dan prinsip guru dan pengelola pendidikan di Republik Indonesia ini, cenderung memperlakukan anak didik sebagai orang dewasa kecil.
CARA-CARA PENINDASAN
Terdapat tiga jenis penindasan:
1. Penindasan Verbal
Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang paling umum digunakan, baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Kekerasan verbal mudah dilakukan dan dapat dibisikkan di hadapan orang dewasa serta teman sebaya, tanpa terdeteksi. Penindasan verbal dapat diteriakkan di taman bermain dan bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar oleh pengawas taman bermain, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan tidak simpati di antara rekan sebaya. Cepat dan tidak menyakitkan si penindas, namun dapat sangat melukai si target.
Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan—baik yang bersifat pribadi maupun rasial—dan pernyataan-pertanyaan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu penindasan verbal dapat berupa perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat-surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip.
Dari ketiga bentuk penindasan, penindasan verbal adalah salah satu penindasan yang paling mudah dilakukan, kerap menjadi awal menuju ke kedua penindasan lainnya, serta dapat menjadi langkah pertama menuju kekerasan yang lebih kejam dan merendahkan martabat.
2. Penindasan Fisik
Penindasan ini adalah penindasan yang paling tampak dan yang paling dapat diidentifikasi di antara bentuk-bentuk penindasan lainnya.
Yanng termasuk dari jenis ini adalah memukuli, mencekik, meludahi, menendang, memiting, mencakar, meninju, menyikut, serta menggigit anak yang ditindas; menekuk anggota tubuh anak yang ditindas hingg ke posisi yang menyakitkan; dan merusak serta menghancurkan pakaian serta barang-barang milik anak yang tertindas. Semakin kuat dan semakin dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis serangan ini, bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk mencederai secara serius.
Anak yang secara teratur memainkan peran ini kerap merupakan penindas paling bermasalah diantara para penindas lainnya, dan yang paling cenderung beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih serius.
3. Penindasan Relasional
Jenis ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah pelemahan harga diri si korban penindasan secar sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran, suatu tindak penyingkiran, adalah alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan mungkin bahkan tidak tidak mendnegar gosip itu, namun tetap akan mengalami efeknya.
Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau emnolak seseorang atau secara sengaja ditujukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan napas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar.
Penindasan relasional mencapai puncak kekuatannya di awal msa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Saat para remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka sendiri dan menyesuaikan diri dengan rekan-rekan sebaya. Hasil dari penindasan jenis ini tidak hanya mata yang lebam atau jaket yang robek; dan kepedihan yang disebabkannya biasanya tersembunyi atau, ketika diekspresikan, diabaikan.
BAGAIMANA PENINDASAN BISA TERJADI
Penindas, Tertindas, dan Penonton adalah sebuah drama banyak versi yang dengan tema tragis yang itu-itu juga, dimainkan oleh actor yang berbeda-beda, mengenakan kostum yang berbeda-beda, menyitir baris kalimat yang berbeda pula. Namun babak/faktor lingkungan pendukung yang sama:
Sebuah budaya yang memberika imbalan bagi para penindas dan menyalahkan target-target mereka.
Sekolah-sekolah yang seolah-olah tidak memiliki penindasan, yang memiliki hierarki klik siswa yang sangat mapan, serta tidak memiliki kebijakan, prosedur, atau program yang efektif untuk mengatasi penindasan
Orangtua yang memodelkan dan/atau mengajari aturan dasar tentang penindasan di rumah.
Orang dewasa yang tidak melihat penderitaan atau tidak mendengarkan tangisan anak-anak yang ditindas.
Babak Pertama: Survei Lanskap
Penindas melihat dan mengamati calon-calon targetnya, memeriksa karakter-karakter yang lain, dan memerhatikan khalayak untuk melihat apakah orang-orang dewasa memerhatikan sang terindas.
Sang tertindas tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh sang penindas.
Para penonton menikmati pertemanan satu sama lain.
Babak Kedua: Pengujian
Sang Penindas menyenggol targetnya seakan-akan tidak sengaja dan mengamati tanggapan si tertindas dan penonton. Lalu menggunakan nama-nam kasar dan menyakitkan untuk merendahkan target.
Sang tertindas bereaksi dan mengangkat bahu, menundukan kepala, gelisah, serta merasa takut dengan tindakan si penindas, namun tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Para penonton menyingkir atau tertawa, diam-diam mendukung dan menyetujui penindasan tersebut. Bagi beberapa penonton ini adalah sebentuk hiburan yang mengorbankan target.
Babak Ketiga: Pertunjukan
Sang penindas mendorong-dorong sang tertindas; memandang targetnya sebagai objek ejekan, bukan sebagai rekan sebaya yang setara.
Anak yang tertindas menyalahkan dirinya sendiri karena telah diserang, menindas dirinya sendiri dengan kata-kata (“Aku adalah seorang pecundang, aku lemah, aku bukan siapaun”), menendang dirinya sendiri karena tidak mampu, serta mencoba untuk merasiolisasi bahwa penindasan itu tidak benar-benar dimaksudkan untuk melukainya.
Beberapa penonton menyingkir dari adegan itu dan merasa bersalah karena tidak menghentikan penindasan. Mereka takut akan menjadi sasaran selanjutnya. Seorang penonton lalu bergabung, secara verbal mencemooh target itu. Proses penindasan dan desensitisasi ini memungkinkan penindas ataupu penonton melakukan agresi dan tindakan kekerasan yang parah terhadap anak yang tertindas.
Babak Keempat: Menguat
Sang penindas menemukan baru untuk mencemooh dan menyiksa sang tertindas. Ia menjadi lebih agresif secara fisik dan mengancam dengan lebih keras guna menanamkan teror pada targetnya. Ia merasa lebih kuat ketika terlibat dengan targetnya. Hasil yang didapat adalah rasa puas dan senang.
Anak yang tertindas menghabiskan waktu di kelas dengan mencari jalan keluar untuk menghindari penindasan.Ia tidak dapat berkonsentrasi pada pelajaran sekolah; menjadi sakit secara fisik; membuat dalih untuk menghidari taman bermain, kamar mandi, dan ruang makan siang; merasa tidak berdaya dan putus asa.
Para penonton lagi-lagi terpecah menjadi dua kubu: sebuah kelompok menyingkir dari sang penindas untuk menghindari setiap konfrontasi; kelompok lain bargabung dalam penindasan tersebut. Kedua kelompok sama-sama takut terhadap sang penindas serta meyakinkan diri mereka bahwa mereka tak akan menjadi sasaran berikutnya, deangan berdalih bahwa target itu sendirilah yang menyebabkan dirinya menjadi sasaran penindasan., memang layak ditindas, seorang pengecut, dan berada di luar lingkaran kepedulian mereka yang terbatas.
Babak Kelima: Tumpukan Kepedihan
Sang penindas melanjutkan penyiksaan dan melukai targetnya dengan meningkatkan kekejian. Ia terperangkap dalam peran penindas, tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta bahwa menganggap dirinya kuat serta sangat disukai. Sikapnya yang haus pujaan, ketidaktoleransiannya, dan kesenangannyadalam mengecualikan orang lain merupakan ciri khas reputasinya.
Sang tertindas semakin merasa dan marah—ia marah dengan dirinya sendiri, dengan sang penindas, dengan para penonton, dan dengan orang-orang dewasa yangyang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Karena ia sering tidak masuk sekolah dan tidak dapat berkonsentrasi ketika berada di sekolah, prestasi akademisnya buruk—lagi-lagi ini menjadi sumber tekanan dan malu. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikirkan cara-cara untuk membalas dendam. Ia juga mungkin bergabung dengan kelompok lain yang tidak dikehendaki, yang bersama-sama dapat menyiapkan rencana balas dendam. Atau ia akan semakin menarik diri kedalam pengucilan dan pengasingan.
Para penonton melakukan satu dari keempat hal berikut:
tetap ketakutan atas penindasan tersebut dan terus menyalahkan target karena telah menjadi korban;
bergabung dengan penindasan tersebut;
karena tidak melihat ada yang campur tangan, lalu ia mengangkat bahu, merasa tak berdaya untuk menghentikan penindasan; atau yang lebih buruk dari itu;
merasa tidak perlu menghentikannya.
Babak Keenam: Akhir
Penindas tumbuh dengan kesadaran diri yang buruk, keterampilan sosial yang tidak berkembang, dan tanggapan agresif terhadap provokasi serta hal-hal kecildan yang dipersepsi sebagai provokasi. Penindasan menjadi cara hidup dalam hubungan-hubungan personal, sosial, dan profesionalnya. Karena penindas memandang penindasan sebagai sesuatu yang normal. Ia mungkin akan menindas anak-anaknya sendiri, melanjutkan siklus kekerasan. Ia mungkin akan beralih ke aktivitas kriminal dan berakhir di penjara.
Anak yang tertindas, yang tak lagi memercayai orang-orang dewasa untuk melindungi atau membantunya dan terkucil dari hubungan sebaya yang sehat, sebisa mungkin melakukan segala hal untuk menyingkirkan kepedihan ini. Kemarahan yang tidak dapat diekspresikan ini dapat meledak menjadi serangan brutal yang ditujukan untuk sang penindas, bagi mereka yang tampaknya telah membantu sang penindas, untuk mereka yang berdiri dan tidak melakukan apapun, serta kepada orang-orang dewasa yang gagal melindungi mereka. Dalam sebuah skenario alternatif, anak yang tertindas, dengan kemarahan yang sangat besar, membunuh dirinya sendiri untuk menghentikan penderitaan. Dalam varian ketiga yang mengombinasikan kedua cara di atas dan sangat populer hari ini, anak yang tertindas akan mengamuk hingga mengakibatkan banyak kematian, kemudian membunuh dirinya atau mengakhiri kehidupannya dengan masuk penjara.
Para penonton juga terperangkap dalam pertempuran ini. Mereka tumbuh dengan dipenuhi dengan perasaanbersalah karena tidak bertindak atau menjadi sangat tidak peka pada kekerasan sehingga menganggap penindasan hanya sebagai bagian dari masa kecil—bukan masalah besar, hanya cara lain untuk menguatkan anak. Mereka mewariskan asumsi ini pada anak-anak mereka, dan panggung ditata untuk pertunjukan ulang.
Gantilah laki-laki dengan perempuan; gantilah penindasan fisik dengan pengucilan, kasak-kusuk,dan gosip; ubahlah alasan yang menjadikan anak yang tertindas sebagai target potensial—seperti ras, gender (termasuk orientasi seksual), agama, ciri fisik, atau kecakapan-kecakapan mental—Anda akan mendapat suatu drama yang betul-betul baru dengan tema, drama, dan akhir tragis yang sama.
TOKOH-TOKOH DALAM PENINDASAN
1) PENINDAS
Para penindas muncul dalam berbagai ukuran dan bentuk; beberapa besar, beberapa kecil; beberapa cerdas, beberapa tidak seberapa pintar; beberapa menarik dan beberapa lainnya tidak begitu aktraktif; beberapa populer dan beberapa benar-benar tidak disukai, nyaris oleh siapapun. Mereka tidak dapat selalu diidentifikaskan dari penampilan mereka. Namun, Anda bisa membedakan mereka dari prilaku mereka. Mereka mempunyai kalimat dan tindakan yang buruk. Mereka mendapat petunjuk-petunjuk dari rumah, adegan di film-film, prilaku orang-orang di lingkungannya, permainan yang mereka lakukan, sekolah yang mereka datangi, dan lain-lain. Untuk mata yang tak terlatih, tampaknya mereka hanya menggoda, sekadar berpura-pura, atau main-main.
JENIS-JENIS PENINDAS
Satu hal yang harus kita ketahui bahwa para penindas diajari untuk menindas. Terdapat tujuh tipe penindas:
1. Penindas yang percaya diri tidak muncul secara tidak sengaja. Ia memiliki egoyang besar, kebanggaan diri yang berlebihan,perasaan berhak dan berkuasa, serta kesukaan pada kekerasan; dia juga tidak memiliki empati pada target-targetnya. Ia merasa nyaman hanya ketika ia merasakan suatu perasaan unggul diatas orang lain.
2. Penindas sosial menggunakan desas-desus, gosip, penghinaan verbal, dan penghindaran untuk mengisolasi target pilihannya secara sistematis dan menyingkirkan mereka secara efektif dari aktivitas-aktivitas sosial. Ia cemburu pada sifat positif orang lain dan memiliki kebanggaan diri yang parah, namun ia menyembunyikan perasaan-perasaan dan ketidakamanannya dalam selubung kepercayaan diri dan kehangatan yang berlebihan. Penuh tipu muslihat dan manipulatif; bukan jenis orang yang dapat dijadikan teman untuk berbagi rahasia oleh anak lain.
3. Penindas yang bersenjata lengkap biasanya dingin dan terpisah. Ia memperlihatkan sedikit emosi dna memiliki tekad yang kuat untuk melaksanakan penindasannya. Jenis yang mencari kesempatan dimana tidak ada orang yang melihat dan dapat menghentikannya, kejam dan penuh balas dendam pada targetnya namun menyenangkan dan berpura-pura dihadapan orang lain. Ia mempunyai tampilan datar—yaitu, penampilan dingin dan tidak berperasaan.
4. Penindas hiperaktif bergulat dengan masalah akademis dan memiliki keterampilan sosial yang berkembang dengan buruk. Biasanya tidak memiliki kecapakan balajar, tidak memproses petunjuk-petunjuk sosial secara akurat, kerap mengartikan tindakan naif dari anak-anak lain sebagai sesuatu yang didasari niat jahat (negative thinking) , bereaksi agresif bahkan pada provokasi ringan, dan cenderung membenarkan tindakkan agresifnya itu (“Ia duluan yang memulai”). Tipe yang sulit mendapat teman.
5. Penindas yang tertindas adalah target sekaligus penindas. Karena tertindas dan disakiti oleh orang-orang dewasa dan anak-anak yang lebih tua, ia menindas yang lain untuk mendapatkan obat bagi ketidakberdayaannyadan kebencian akan dirinya sendiri. Jenis yang paling tidak populer. Ia membalas dendam secara keji ke orang-orang yang pernah melukai dirinya. Ia juga membalaskan dendamnya ke target-target yang lebih kecil dan lemah.
6. Kelompok penindas adalah sekumpulan teman yang secara kolektif melakukan sesuatu yanng tidak akan pernah mereka lakukan secara perorangan kepada orang yang ingin mereka singkirkan atau fitnah. Penindasan ini dilakukan oleh sekumpulan anak-anak manis yang mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan keliru dan bisa menyakiti targetnya, namun mereka tetap saja menindas.
7. Gerombolan penindas adalah sekumpulan anak menakutkan yang bukan berfungsi sebagai sekelompok teman. Mereka berfungsi sebagai aliansi strategis dalam upaya menguasai, mengontrol, mendominasi, menduduki, dan menjajah. Pada awalnya, mereka bergabung untuk dapat menjadi suatu bagian dari satu keluarga, untuk dihormati dan dilindungi. Namun, karena fanatisme, mereka jadi begitu mengabdikan diri pada kelompok sehingga mengabaikan hidup mereka, kekerasan yang mereka bebankan kepada korban-korban mereka, serta seluruh konsekuensi tindakan mereka. Selain itu, ikatan ini tidak memiliki empati dan rasa menyesal.
SIFAT-SIFAT PENINDAS
Walau cara dan gaya penindasan mereka berbada-beda, para penindasan memiliki sifat yang sama. Mereka:
§ Suka mendominasi orang lain
§ Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatka apa yang mereka inginkan.
§ Sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain.
§ Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan pada kebutuhan, hak-hak, dan perasaan orang lain.
§ Cenderung melukai anak-anak lain ketika orang tua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.
§ Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai mangsa (penindasan juga dikenal sebagai agresi yang memangsa)
§ Menggunakan kesalahan, kriktikan, dan tuduhan-tuduhan yang keliru untuk memproyeksikanketidakcakapan mereka kepada atrgetnya.
§ Tidak mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka.
§ Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan—yaitu, tidak mampu memikirkan konsekuensi jangka pendek, jangka panjang, serta yang mungkin tidak diinginkan dari perilaku mereka saat itu.
§ Haus perhatian.
TERTANGKAP
Inilah yang akan dilakukan seorang penindas jika mereka tertangkap:
§ Menyangkal kalau ia telah melakukan kesalahan.
§ Menyamarkan peristiwa: “Aku Cuma bermain-main dengannya.”
§ Membela diri: “Ia tiba-tiba saja jadi gila kepada kami.”
§ Mengklaim status korban dengan menangis dan menunduh anak lain memulai peristiwa ini (memutar balikkan fakta). Hal ini biasanya memprovokasi anak yang ditindas.
§ Melepaskan diri dari masalah dengan memakaikan peran sang penindas kepada anak yang tertindas.
§ Meminta dukungan para penonton untuk menyangkal apa pun yang dikatakan anak yang tertindas untuk membela tindakkanya.
2) TERTINDAS
Sebagaimana para penindas, anak yang ditindas juga muncul dalam berbagai bentuk dan ukuran. Beberapa bertubuh besar, yang lain kecil;beberapa tampak pintar, lainnya tidak begitu pintar; beberapa atraktif, yang lainnya tidak terlalu aktraktif; beberapa populer dan yang lain tidak disukai hampir oleh semua orang.
Satu kesamaan yang dimiliki oleh anak-anak yang ditindas adalah bahwa mereka menjadi sasaran dari seorang penindas (atau oleh sekelompok penindas). Mereka dipilih menjadi objek hinaan dan kemudian menjadi penerima agresi verbal, fisik, atau relasional hanya karena berbeda dalam hal-hal tertentu. Tidak ada orang yang layak ditindas.
ANAK-ANAK YANG BEPOTENSI MENJADI TARGET PENINDASAN:
1. Anak baru di lingkungan itu.
2. Anak termuda disekolah—dan biasanya yang lebih kecil, terkadang ketakutan, mungkin tidak terlindung. Penindasan meningkat bagi siswa baru di SMP atau SMU.
3. Anak yang pernah mengalami trauma—mereka pernah disakiti oleh trauma sebelumnya, biasanya sangat peka, menghindari kesakitan yang lebih parah, dan merasa sulit untuk meminta pertolongan.
4. Anak penurut—anak yang merasa cemas, kurang percaya diri, dan mudah dipimpin serta anak yang melakukan hal-hal untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain.
5. Anak yang perilakunya dianggap mengganggu bagi orang lain.
6. Anak yang tidak mau berkelahi—lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan.
7. Anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain, penggugup, peka.
8. Anak yang miskin atau kaya.
9. Anak yang ras atau etnisnya dipandang inferior oleh penindas sehingga layak dihina.
10. Anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang inferior oleh penindas sehingga layak dihina.
11. Anak yang agamanya dipandang inferior oleh penindas sehingga layak dihina.
12. Anak yang cerdas, berbakat, atau memiliki kelebihan—dijadikan sasaran karena ia unggul—dengan kata lain, berbeda.
13. Anak yang merdeka, tidak memedulikan status sosial, serta tidak berkompromi dengan norma-norma.
14. Anak yang siap mengekspresikan emosinya setiap waktu.
15. Anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
16. Anak yang memakai kawat gigi atau kaca mata.
17. Anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
18. Anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan mayoritas anak lainnya
19. Anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau fisik—anak-anak seperti ini biasanya dua-atau tiga kali lebih sering ditindas daripada anak-anak lain karena mereka memiliki ketidakcakapan yang nyata sehingga menyediakan dalih buat sang penindas.
20. Anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah—diserang karena sang penindas sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu dan pada saat itu juga.
Hampir semua orang pernah mengalami penindasan, bahkan bila kita sendiri adalah para penindas itu—kenyataannya terutama kalau kita sendiri adalah penindasnya.
TUJUH ALASAN ANAK-ANAK TIDAK MEMBERI TAHU ORANG DEWASA MENGENAI SITUASI PENINDASAN:
1. Mereka malu karena telah ditindas. Penindasan bermaksud membuat targetnya merasa tidak layak mendapatkan penghormatan, tidak populer, terisolasi, dan malu. Anak laki-laki lebih jarang memberi tahu orang dewasa daripada anak perempuan.
2. Mareka takut aksi balas dendam kalau orang dewasa diberi tahu. Para penindas memperparah ketakutan ini dengan ancaman-ancaman. Ketakutan dan ancaman balas dendam berkombinasi menyuruh kode diam yang memungkinkan sang penindas terus melakukan aktivitas brutalnya
3. Mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang dapat menolong mereka. Mereka semakin merasa terisolasi oleh penindasan, mereka percaya bahwa tak ada orang yang menemani mereka dalam kondisi ini. Penindas terlalu kuat, terlalu licik, dan terlalu pintar untuk dihentikan.
4. Mereka tidak berpikir bahwa ada orang yang akan menollong mereka. Mereka diberi tahu agar mencoba menyesuaikan diri dengan penindas, untuk menyingkir dari mereka, untuk menyerang kembali, dan tidak menjadi lemah.
5. Mereka dibawa ke kebohongan yang menyatakan bahwa penindasan adalah bagian penting dari proses menjadi dewasa. Keadaan ini mungkin akan terasa menyakitkan seperti neraka, namun neraka adlah bagian dari lanskap masa kecil.
6. Mereka mungkin percaya bahwa orang dewasa adalah bagian dari kebohongan ini, karena tidak hanya anak-anak yang menindas mereka.
7. Mereka telah belajar bahwa mengadukan seorang teman sebaya adalah hal yang buruk, tidak keren, kekanak-kanakan. Diam dianggap sebagai tanggapan yang lebih dewasa saat mengalami penindasan.
TANDA-TANDA ANAK ADALAH SANG TERTINDAS
1. Adanya penurunan minat yang tiba-tiba di sekolah atau tidak mau pergi sekolah.
2. Rute yang ditempuh anak untuk pergi ke sekolah adalah tidak lazim.
3. Prestasi anak di kelas menurun.
4. Anak tidak mau terlibat dalam kegiatan keluarga dan sekolah, mereka ingin dibiarkan sendiri.
5. Sepulang sekolah, anak merasa kelaparanserta mengaku kehilangan uang jajan atau tidak lapar di sekolah.
6. Anak mencuri uang orangtua dan membuat dalih yang sulit dipercaya tentang penyebab hilangnya uang tersebut.
7. Sesampainya ditrumah, anak tergesa-gesa pergi ke kamar mandi.
8. anak merasa sedih, pendiam, tetapi gampang marah. Atau anak enjadi ketakutan setelah meneriama telepon atau e-mail.
9. Anak melakukan sesuatu yang bukan karakternya.
10. Anak menggunakan bahasa yang merendahkan atau menjatuhkan martabat ketika bicara tentang teman sebaya.
11. Anak tidak lagi menceritakan teman-teman sebaya dan aktivitas sehari-hari pada orangtua.
12. Baju berantakan, robek, atau hilang.
13. Anak menderita cedera fisik yang tidak konsisten dengan penjelasannya.
14. Anak mengalami sakit perut, pusing, kepanikan, keadaan sulit tidur atau sangat sering tidur.
3) PENONTON
Para Penonton adalah kelompok ketiga dari para pemain dalam kisah ini. Mereka adalah peran pendukung yang membantu dan mendorong penindas selama tindakan balas dendam dan kesalahan. Mereka bisa berdiam diri dan memandangi saja, mendorongpenindas secara aktif, atau bergabung dan menjadi anggota gerombolan penindas.
EMPAT ALASAN MENGAPA PENONTON MEMILIH TIDAK IKUT CAMPUR:
Sang penonton takut dirinya ikut tersakiti.
Penonton takut menjadi target penindasan yang baru.
Penonton takut melakukan sesuatu yang hanya akan memperburuk keadaan
Penonton tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan.
Walaupun sah, alasan-alasan ini tidak meningkatkan rasa percaya diri atau harga diri yang terkikis ketika seorang anak menyaksikan insiden penindasan dan tidak dapat atau tidak mau menanggapi secara efektif untuk menghentikan kekejaman.
Para penonton memiliki lebih banyak dalih daripada alasan-alasan sah untuk tidak ikut campur. Dalih-dalih ini membantu meracuni sosial sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa sang penonton akan berada di sisi sang penindas dan akhirnya mengasumsikan peran penindas pada diri mereka sendiri. Mereka termasuk daftar di bawah ini, namun jelas tidak terbatas hanya pada sembilan kategori berikut:
1. Penindas itu temanku
2. Itu bukan urusanku
3. Ia (yang tertindas) bukan temanku
4. Ia (yang tertindas) seorang pecundang
5. Ia (yang tertindas) layak ditindas, memang minta ditindas, memang menyebabkan penindasan itu sendiri.
6. Penindasan akan ‘membentuk’ dirinya (yang tertindas)
7. Diam saja
8. Ikut-ikutan menindas, daripada membela yang lemah.
9. Jangan terlibat
.
OLOK-OLOK DAN HINAAN
Olok-olok adalah hal menyenangkan yang kita lakukan dengan teman-teman—dengan orang yang anda sayang. Sedangkan hinaan adalah salah satu cara untuk menindas seseorang yang tidak kita pedulikan. Dengan mengenali hinaan sebagai salah satu penindasan, kekasaran dan kekejamannya dapat diberitahukan kepada sang penindas dan setiap penonton yang kemungkinan cenderung tertarik untuk bergabung dalam permainan yang keji ini.
Olok-Olok
Orang yang mengolok-olok dan orang yang diolok-olok dapat berganti peran dengan mudah.
Tidak dimaksudkan untuk melukai orang lain.
Tetap memelihara harga diri dari setiap orang yang terlibat.
Mempermainkan orang lain dengan riang, lucu, dan tidak kasar.
Dimaksudkan untuk membuat kedua pihak tertawa.
Hanya merupakan sebagian kecil dari seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak-anak yang memiliki kesamaan tertentu.
Dilakukan tanpa motif yang buruk.
Tidak berlanjut ketika orang-orang yang digoda jadi kecewa atau berkeberatan dengan godaan tersebut.
Saat anak-anak saling mengolok-olok, ada suatu keriangan yang tidak muncul dalam hinaan. Dalam olok-olok, masing-masing pihak memberi dan menerima dengan setara. Olok-olok di luar batas adalah serangan-serangan yang terkait dengan ras, agama, gender, kondisi fisik, atau kecakapan mental. Serangan apa pun bukanlah olok-olok biasa; itu hinaan.
Hinaan
Dadasarkan pada ketidakseimbangan kekuasaan dan bersifat satu pihak: penindas mencerca, anak yang ditindas dihina.
Dimaksudkan untuk melukai.
Melibatkan komentar yang bersifat mempermalukan, keji, merendahkan, atau picik yang disamarkan sebagai lelucon.
Termasuk tawa yang diarahkan kepada target, bukan bersama target.
Dimaksudkan untuk mengabaikan harga diri si target.
Memicu ketakutan akan cercaan lebih lanjut atau dapat menjadi awal bagi penindasan fisik.
Dilakukan dengan motif yang buruk.
Terus berlanjut khususnya ketika para target manjadi tertekan atau berkeberatan dengan cercaan tersebut.
Ketika seorang penindas mencerca tergetnya, tak ada sifat main-main dalam serangan, tak peduli betapa pun kerasnya dalih sang penindas. Anak yang ditindas kemungkinan menjadi target karena sang penindas tahu bahwa sasarannya tidak akan membalasnya. Tak ada proses memberi-dan-menerima yang pada dasarnya bersifat baik.
TIGA JENIS KELUARGA
Keluarga adalah orang-orang yang berperan dalam pembentukan perilaku anak. Terdapat tiga jenis keluarga:
1. Keluarga Tembok-Bata
Dalam keluarga tembok bata, balok-balok bangunan—bata—disemen bersama-sama sehingga keluarga memiliki perintah, kendali, kepatuhan, ketaatan, pada peraturan-peraturan, dan hierarki kekuasaan yang ketat. Anak-anak dikontrol, diperalat, dan dipaksa berpikir. Perasaan-perasaan mereka kerap diabaikan, diremehkan, atau ditolak. Jenis keluarga yang menciptakan seorang penindas.
Berikut ini daftar singkat dari karakteristik-karakteristik keluarga tembok-bata :
a. Orangtua memiliki wewenang absolut, meneguhkan perintah-perintah, dan selalu menang.
b. Penegakan hukum secara kaku melalui kekerasan aktual atau khayalan serta ancaman.
c. Upaya untuk mematahkan kehendak dan semangat anak dengan memberi rasa takut dan hukuman.
d. Penggunaan hinaan.
e. Penggunaan ancaman dan penyuapan yang diperluas.
f. Sangat mengandalkan kompetisi.
g. Pembelajaran terjadi dalam sebuah atmosfer ketakutan.
h. Cinta yang bersyarat.
i. Anak diajari tentang hal yang harus dipikirkan dan bukan cara memikirkannya.
2. Keluarga Ubur-Ubur
Berlawanan dengan tipe tembok bata, tipe keluarga ubur-ubur adalah sebuah keluarga yang tidak memiliki struktur kokoh. Seolah-olah memperlihatkan perasaan dan emosi yang sehat, padahal sebenarnya tidak seperti itu. Dalam keluarga ubur-ubur, yang muncul adalah atmosfer permisif dan mengikuti arus. Anak-anak ditekan atau dibiarkan, dihina, dipermalukan, dan dimanipulasi denagn penyuapan, ancaman, imbalan, dan hukuman. Mereka menjadi sangat tidak bahagia, tidak senang, atau takut dan berupaya membalas dendam. Tipe yang juga akan menciptakan penindas.
Tipe keluarga ini mempunyai lima karakteristik-karakteristik:
a. Hukuman-hukuman dan imbalan-imbalan bersifat sembarang dan tidak konsisten.
b. Kesempatan kedua kadang diberikan, kadang tidak.
c. Ancaman dan penyuapan adalah hal yang biasa.
d. Perilaku orangtua dan anak-anak dikendalikan oleh emosi.
e. Cinta memiliki banyak syarat.
3. Keluarga Tipe Tulang Belakang
Keluarga tipe tulang belakang muncul dalam berbagai bentuk, ukuran, dan warna Mereka tidak datang dari latar belakang atau strata sosial tertentu. Mereka tidak tinggal dalam lingkunagn tempal tinggal tertentu. Mereka tidak hanya dicirikan oleh tindakan yang mereka lakukan, tetapi oleh oleh cara mereka menyeimbangkan antara kepedulian kepada diri sendiri dan kepdulian pada masyarakat dalam semua hal yang mereka lakukan. Sikap saling ketergantung diakui.
Keluarga tipe ini juga dapat digambarkan oleh karakter yang tidak mereka miliki, yaitu bersifat hierarkis, tidak birokratis, atau tidak kejam, serta tidak menuntut penghargaan—mereka mendemonstrasikan dan mengajarkannya.
Berikut ini adalah 15 karakteristik untuk keluarga tipe tulang belakang:
a. Orangtua mengembangkan jaringan dukungan buat anak-anak mereka melalui enam pesan kehidupan kritis yang diberikan setiap hari.
b. Demokrasi dipelajari melalui pengalaman.
c. Sebuah lingkungan yang diciptakan adalah lingkungan kondusif untuk aktivitas kreatif, konstruktif, dan bertanggung jawab.
d. Disiplin diberikan sedemikian rupa sehingga anak-anak dapat belajar.
e. Peraturan-peraturan cenderung sederhana an dinyatakan dengan jelas.
f. Konsekuensi-konsekuensi bagi perilaku yang tidak bertanggung jawab bersifat alamiah atau cukup beralasan.
g. Anak-anak mendapat kesempatan kedua.
h. Anak-anak termotivasi untuk menjadi siapa pun yang mereka bisa.
i. Anak-anak meneriam banyak senyuman, pelukan, dan kebahagiaan.
j. Anak-anak belajar untuk menerima perasaan mereka sendiri dan bertindak dengan bertanggung jawab pada perasaan-perasaan itu melalui kesadaran diri yang kuat.
k. Kompetensi dan kerja sama dicontohkan dan didorong
l. Cinta tak bersyarat
m. Anak-anak diajari cara berpikir
n. Anak-anak dilindungi dari kemungkinan terkena dampak sang penindas, atau dari kebutuhan menjadi seorang penindas, melalui peneguhan pesan-pesan yang menyuburkan suatu kesadaran diri yang kuat setiap hari.
o. Keluarga mau mencari pertolongan
KESEHATAN MENTAL ANAK
Suatu studi baru memberikan bukti kuat bahwa penindasan dapat menyebabkan anak-anak menderita depresi dan anxiety (kegelisahan). Dr Louise Arsenault dari King`s College, London, dan para koleganya meneliti para kembar identik. Mereka menemukan bahwa jika salah satu dari kembar identik mengalami penindasan saat berumur antara tujuh dan sembilan tahun, maka secara signifikan akan lebih mungkin anak tersebut mempunyai gejala internalisasi pada usia 10 tahun. Masalah internalisasi merupakan suatu masalah psikologis yaitu negatifitas yang diarahkan ke diri sendiri, misalnya depresi. Penelitian ini "sungguh-sungguh mendukung asumsi atau keyakinan bahwa diintimidasi membawa dampak jelek buruk untuk kesehatan anak-anak," kata Arsenault kepada Reuters.Faktanya memang anak-anak yang memiliki gejala-gejala tersebut, misalnya sering menangis, takut sendirian, dan sakit perut, sangat mungkin butuh pertolongan,. Anak yang diintimidasi dikenal punya kemungkinan lebih besar mengalami kegelisahan, depresi dan pikiran bunuh diri, selain mengalami keterasingan sosial, kata Arsenault dan timnya dalam laporan mereka.Para peneliti mengemukakan, ada kemungkinan bahwa penindasan dan masalah-masalah mental, berasal dari faktor risiko yang sama seperti tinggal di lingkungan miskin atau diabaikan oleh orang tua. Anak-anak yang memiliki masalah mental juga kemungkinan lebih menarik perhatian para pelaku penindasan Arsenault dan timnya menyelidiki 1.116 pasang kembar yang lahir di Inggris maupun Wales antara tahun 1994 dan 1995.Dari 114 pasangan kembar, di mana salah satu menjadi korban penindasan sedangkan lainnya tidak, anak yang mengalami penindasan secara signifikan menujukkan lebih banyak gejala-gejala masalah internalisasi, seperti merasa cemas, terasing, dan merasa bersalah secara berlebihan. Orang yang menderita hal tersebut di usia muda punya risiko lebih besar mengalami depresi dan kegelisahan di masa nanti, kata Arsenault dan timnya.Temuan itu menunjukkan bahwa usaha yang dirancang untuk memerangi penindasan tidak boleh hanya ditujukan terhadap para pelaku, namun juga terhadap para korban. Mereka membutuhkan dukungan. Gejala yang mereka alami harus ditangani dengan serius.
DAMPAK PENINDASAN TERHADAP ANAK
Menurut berbagai lembaga penanganan terhadap anak-anak yang mendapat perlakuan negatif dari orang tua, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak atau efek dari penyiksaan atau pengabaian terhadap kehidupan sang anak. Faktor-faktor tersebut adalah:
Jenis perlakuan yang dialami oleh sang anak
Seberapa parah perlakuan tersebut dialami
Sudah berapa lama perlakuan tersebut berlangsung
Usia anak dan daya tahan psikologis anak dalam menghadapi tekanan
Apakah dalam situasi normal sang anak tetap memperoleh perlakuan atau pengasuhan yang wajar
Apakah ada orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi, memperhatikan dan dapat diandalkan oleh sang anak
Sementara itu penyiksaan dan atau pengabaian yang dialami oleh anak dapat menimbulkan permasalahan di berbagai segi kehidupannya seperti:
Masalah Relational
Masalah Emosional
Masalah Kognisi
Masalah Perilaku
Masalah Relational
Kesulitan menjalin dan membina hubungan atau pun persahabatan
Merasa kesepian
Kesulitan dalam membentuk hubungan yang harmonis
Sulit mempercayai diri sendiri dan orang lain
Menjalin hubungan yang tidak sehat, misalnya terlalu tergantung atau terlalu mandiri
Sulit membagi perhatian antara mengurus diri sendiri dengan mengurus orang lain
Mudah curiga, terlalu berhati-hati terhadap orang lain
Perilakunya tidak spontan
Kesulitan menyesuaikan diri
Lebih suka menyendiri dari pada bermain dengan kawan-kawannya
Suka memusuhi orang lain atau dimusuhi
Lebih suka menyendiri
Merasa takut menjalin hubungan secara fisik dengan orang lain
Sulit membuat komitmen
Terlalu bertanggung jawab atau justru menghindar dari tanggung jawab
Masalah Emosional
Merasa bersalah, malu
Menyimpan perasaan dendam
Depresi
Merasa takut ketularan gangguan mental yang dialami orang tua
Merasa takut masalah dirinya ketahuan kawannya yang lain
Tidak mampu mengekspresikan kemarahan secara konstruktif atau positif
Merasa bingung dengan identitasnya
Tidak mampu menghadapi kehidupan dengan segala masalahnya
Masalah Kognisi
Punya persepsi yang negatif terhadap kehidupan
Timbul pikiran negatif tentang diri sendiri yang diikuti oleh tindakan yang cenderung merugikan diri sendiri
Memberikan penilaian yang rendah terhadap kemampuan atau prestasi diri sendiri
Sulit berkonsentrasi dan menurunnya prestasi di sekolah
Memiliki citra diri yang negatif
Masalah Perilaku
Muncul perilaku berbohong, mencuri, bolos sekolah
Perbuatan kriminal atau kenakalan
Tidak mengurus diri sendiri dengan baik
Menunjukkan sikap dan perilaku yang tidak wajar, dibuat-buat untuk mencari perhatian
Muncul keluhan sulit tidur
Muncul perilaku seksual yang tidak wajar
Kecanduan obat bius, minuman keras, dsb
Muncul perilaku makan yang tidak normal, seperti anorexia atau bulimia
Tidak semua anak akan memperlihatkan tanda-tanda tersebut di atas karena mereka merasa malu, atau takut untuk mengakuinya. Bisa saja mereka diancam oleh pelakunya untuk tidak membicarakan kejadian yang dialami pada orang lain. Jika tidak, maka mereka akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih hebat. Tidak menutup kemungkinan, anak-anak tersebut justru mencintai pelakunya. Mereka ingin menghentikan tindakannya tetapi tidak ingin pelakunya ditangkap atau dihukum, atau melakukan suatu tindakan yang membahayakan keutuhan keluarga.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment